Pengaruh Islam Masa Modern bagi Indonesia
Adanya gerakan pembaruan dalam Islam, khususnya pada masa modern adalah wujud kesadaran umat Islam dari ketertinggalan dari Barat. Padahal, pada masa klasik, Islam mengalami zaman keemasan. Di antara gagasan cendekiawan muslim pada masa tersebut adalah Pan-Islamisme yang digaungkan Jamaludin al-Afghani merupakan cikal bakal dari Gerakan kesatuan untuk menentang penjajah.
Begitu juga di Indonesia, hal itu menjadi inspirasi agar di Indonesia dapat terlepas dari penjajah. Setidaknya sejak dibukanya Terusan Suez tahun 1869, setiap tahun ribuan umat Islam Indonesia menunaikan ibadah haji. Pada saat itu, umat Islam tidak hanya menunaikan ibadah haji, tetapi juga belajar dengan ‘ulama di Makkah, seperti K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari.
Setelah belajar dari Makkah, KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyyah dan KH. Hasyim Asy'ari mendirikan Nahdlatul Ulama. Kedua organisasi tersebut sampai sekarang berpengaruh di Indonesia maupun dunia.
Banyak para haji dan ulama yang melakukan perlawanan terhadap penjajah. Selama di Makkah, menurut Deliar Noer, mereka memperoleh bacaan-bacaan di tempat-tempat pendidikan agama dan turut serta dalam kehidupan dan usaha-usaha Pan-Islamisme. Di antara perang yang dimotori ulama melawan penjajah Belanda adalah Perang Padri di Minangkbau (1821-1837 M.), Perang Diponegoro di Jawa (1825-1830 M.), Perang Banjar di Kalimantan (1854-1864 M.), Perang Jambi (1858-1907 M.), Perang Aceh di Aceh (1873-1904 M.), pemberontakan rakyat di Cilegon Banten (1888 M.), dan lain-lain.
Selain itu, pengaruh yang lain adalah berdirinya beberapa organisasi masyarakat yang berbasis Islam. Di antaranya: Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Al-Irsyad Al-Islamiyyah, Al-Jam’iyyah Al-Washliyyah, Persatuan Islam, Mathlaul Anwar, Pergerakan Tarbiyah, Nahdlatul Wathan, Al-Khairat, dan organisasi Islam lainnya. Pembahasan lebih lanjut tentang hal tersebut akan dibahas pada kelas XII.
Kemudian dalam bidang pendidikan Islam, berdiri perguruan tinggi keislaman di Indonesia yang membuka jurusan keagamaan dan umum. Perguruan tinggi Islam yang pertama kali yang berdiri adalah Universitas Islam Indonesia (UII), pada tanggal 20 Februari 1951. Pada perkembangan selanjutnya, khusus Fakultas Agama, diambil oleh pemerintah, yang kemudian berdiri perguruan tinggi baru dengan nama Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) tanggal 26 September 1951 di bawah pengawasan Kementerian Agama.
Dari nama PTAIN kemudian berubah menjadi Insitut Agama Islam Negeri (IAIN) pada tahun 1960. Untuk menghadapi perubahan zaman, IAIN berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) yang membuka program studi agama dan program studi umum. Kemudian untuk Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) berubah menjadi IAIN.
Hikmah Belajar Peradaban Islam pada Masa Modern
Setelah mempelajari materi Peradaban Islam pada masa modern, hikmah yang dapat diperoleh adalah:
a) Dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilandasi dengan agama yang kokoh akan mengantarkan kemajuan umat Islam di masa yang akan datang;
b) Mengkaji Al-Qur’an, hadis, dan ijtihad para ulama sebagai fondasi untuk membangun peradaban umat Islam yang rahmatan lil aalamiin di masa yang akan datang;
c) Mengkaji ilmu-ilmu keislaman (nahwu, sharaf, fiqih, ushul fiqih, mantiq, bahasa arab, ulum al-Quran, ulum al-Hadits dan sebagainya) sebagai fondasi untuk memahami Islam dengan komprehensif;
d) Belajar sejarah pada masa modern, kalian akan mengetahui kelebihan dan kelemahan pada masa lalu. Hal ini menjadi bahan introspeksi untuk menatap masa depan umat Islam;
e) Berpikir dinamis sesuai dengan perkembangan zaman baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Umat Islam seharusnya menjadi pelopor perubahan sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Ra’du/13: 11;
f) Memperkuat semangat ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama warga negara), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan dengan sesama manusia);
- Peradaban Islam pada Masa Modern
- Kondisi Islam pada Masa Modern
- Muhammad Ali Pasya (1765 – 1849 M)
- Rifa’ah Baidawi Rafi’at at-Tahtawi (1801 - 1873)
- Jamaludin Al-Afghani (1838 – 1897 M)
- Muhammad Abduh (1849 - 1905 M)
- Rasyid Ridha (1865 - 1935 M)
- Muhammad Iqbal (1877 - 1938 M)
- KH. Ahmad Dahlan (1868 – 1923 M)
- KH. Hasyim Asy’ari (1871–1947)