Pernikahan yang Tidak Sah

Di antara pernikahan yang tidak sah dan dilarang oleh Rasulullah Saw. adalah sebagai berikut. 

1) Pernikahan Mut`ah, yaitu pernikahan yang dibatasi untuk jangka waktu tertentu, baik sebentar ataupun lama. Imam Madzhab empat sepakat bahwa pernikahan ini haram dilakukan. Secara historis diperbolehkannya nikah mut’ah oleh Rasul ini karena umat Islam waktu itu berada dalam masa transisi, yaitu peralihan dari masa Jahiliyah menuju Islam. Praktik perzinaan pada masa jahiliyah sudah membudaya, sementara Islam datang dan Rasul menyeru umat Islam untuk berperang, maka keadaan jauhnya pejuang muslim dari istri-istri mereka tentu saja merupakan suatu penderitaan tersendiri. Kebolehan ini berlangsung hingga datangnya hadis Nabi sebagai nasikh (penghapus) atas kebolehan nikah tersebut.

2) Pernikahan syighar, yaitu pernikahan dengan persyaratan barter tanpa pemberian mahar

3) Pernikahan muhallil, yaitu seseorang menikahi wanita yang telah dicerai tiga kali oleh suaminya untuk diceraikan lagi agar halal dinikahi kembali oleh suaminya yang pertama, dan ini dilakukan atas perintah suami pertama tersebut.

4) Pernikahan orang yang sedang ihram, baik ihram Haji atau Umrah serta belum memasuki waktu tahallul.

5) Pernikahan dalam masa iddah, yaitu pernikahan seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang masih dalam masa iddah, baik karena bercerai atau suami meninggal dunia.

6) Pernikahan tanpa wali, yaitu pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki dengan seorang wanita tanpa dihadiri walinya. 

7) Pernikahan dengan wanita musyrik (menyekutukan Allah)

8) Menikahi mahram, baik mahram untuk selamanya, mahram karena pernikahan atau karena sepersusuan.


Hak dan Kewajiban Suami Istri

Untuk mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, suami dan istri harus saling memahami hak dan kewajiban sebagai suami istri. 

Adapun kewajiban suami kepada istri, yaitu:

1. Memberi tempat tinggal yang layak kepada istri sesuai dengan kemampuan (lihat Q.S. al-Thalaq/65: 6);

2. Memberi nafkah istri menurut kemampuan suami (lihat Q.S. al Thalaq/65: 7);

3. Berinteraksi dengan istri secara ma’ruf (baik), yaitu dengan cara yang baik dan penuh kasih sayang, saling menghargai, dan memahami kondisi istri;

4. Menjadi pemimpin keluarga, dengan cara membimbing, mengarahkan, mendidik, memelihara seluruh anggota keluarga dengan penuh tanggung jawab; (Lihat Q.S. al-Nisā’/4: 34); 

5. Membantu istri dalam melaksanakan tugas sehari-hari, terutama dalam merawat, memelihara, dan mendidik putra putrinya agar menjadi anak yang shaleh dan shalehah. (Lihat Q.S. al-Tahrīm/66:6). 

Sedangkan kewajiban istri kepada suami adalah:

1. Patuh dan taat kepada suami sesuai dengan ajaran agama Islam. Apabila suami memerintahkan untuk melakukan hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, maka istri tidak wajib ditaati; 

2. Memelihara dan menjaga kehormatan diri sebagai seorang istri dan keluarga serta harta benda suami, baik suami berada di rumah atau di luar rumah;

3. Mengelola rumah tangga dengan baik sesuai dengan tugas dan fungsi sebagai seorang istri; 

4. Memelihara, merawat, dan mendidik anak terutama pendidikan agama. Allah Swt., berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (Q.S. At-Tahrīm/66: 6).


Mahar (Maskawin)

Mahar atau maskawin terkadang disebut nihlah atau shadaq, yang berarti sesuatu yang diwajibkan karena pernikahan, yakni harta atau apapun yang diberikan oleh laki-laki dan menjadi hak milik perempuan/istri. Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini al-Hashni dalam Kifayah al-Akhyar fi Hilli Ghayah al-Ikhtishar menjelaskan bahwa walaupun menyebutkan mahar dalam akad nikah sunnah hukumnya, tetapi wajib diberikan oleh laki-laki dalam sebuah pernikahan.

Bentuk dan besaran mahar diserahkan kepada kepada calon mempelai laki-laki dan perempuan. Tidak ada keharusan apakah harus sama, melebihi ataupun kurang dari mahar yang menjadi kebiasaan di daerah tersebut, karena yang dijadikan ukuran dari sebuah mahar adalah kerelaan antara kedua calon pengantin. Tidak ada batasan maksimal ataupun minimal sebuah mahar. Segala sesuatu baik uang, benda, atau apapun yang dapat memberikan manfaat dapat dijadikan sebagai mahar pernikahan.


Resepsi Pernikahan (walimatul ‘urs)

Walimatul ‘urs atau sering disebut dengan resepsi pernikahan. Kata Walimah secara bahasa berarti berkumpul. Sedangkan menurut istilah syari’ah yang dijelaskan Ahmad bin ‘Umar al-Syathiri dalam kitab al-Yaqut al-Nafis adalah nama untuk setiap undangan atau makananan dan minuman yang diadakan karena adanya kebahagiaan atau lainnya. Hukum mengadakan walimah menurut Mushthafa Dib al-Bugha’ dalam kitab al-Tadzhib fi Adillah Matn al-Ghayah wa al-Taqrib adalah sunnah, dan wajib hukumnya memenuhi undangan walimah tersebut, kecuali jika ada ‘udzur/halangan.

Tujuan dari walimah adalah untuk mengumumkan pernikahan dan sebagai bentuk syukur atas kebahagiaan yang diperoleh dengan cara berbagi dengan sesama

Baca juga :

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel